Teori Konspirasi – Pajak bukanlah hal baru dalam sejarah umat manusia. Jauh sebelum era modern, sistem pemungutan iuran sudah diterapkan di berbagai peradaban untuk membiayai kepentingan bersama, terutama perang dan pembangunan. Di masa lampau, masyarakat hidup dengan ketergantungan satu sama lain, dan pajak dianggap sebagai kontribusi wajib terhadap sistem sosial. Salah satu catatan tertua tentang pajak ditemukan di Mesir, tempat para Fir’aun mempekerjakan petugas bernama Scribes untuk memungut pajak atas komoditas penting seperti minyak goreng. Sistem ini bahkan sudah melibatkan audit rumah tangga untuk memastikan warga tidak menghindari kewajiban mereka. Konsep ini berkembang di banyak wilayah, menjadikan pajak sebagai penopang utama kegiatan kerajaan dan pemerintahan. Dari sini terlihat bahwa pajak bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi juga simbol ketertiban sosial dan kekuasaan penguasa atas wilayahnya. Dalam catatan sejarah, peran pajak terus mengalami transformasi seiring berkembangnya masyarakat dari agraris menuju sistem pemerintahan yang lebih kompleks dan terstruktur.
Pajak di Yunani dan Romawi Menjadi Dasar Sistem Fiskal Awal
Pada masa kejayaan Yunani kuno, kontribusi warga digunakan sebagai alat pendanaan perang dan pembangunan kota. Bangsa Athena mengenal skema bernama Eisphora yang dikenakan selama masa konflik militer. Tidak ada pengecualian dalam kewajiban ini, semua penduduk harus ikut serta. Setelah perang usai, mereka dapat mengajukan pengembalian dana dari kas negara. Selain itu, bangsa Athena juga menerapkan kewajiban bulanan bernama metoikion yang ditujukan bagi pendatang atau warga asing.
Besarannya berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sementara itu di Romawi, sistem iuran menjadi lebih kompleks dan terorganisir. Iuran pertama di Roma berupa bea masuk dan keluar barang, dikenal sebagai portoria. Kaisar Augustus memperkenalkan bentuk kewajiban atas warisan sebesar lima persen, dengan pengecualian untuk anak dan pasangan pewaris. Biaya penjualan juga mulai diterapkan, termasuk beban atas transaksi budak sebesar empat persen. Saat itu, kontribusi semacam ini tidak hanya menjadi sumber pemasukan negara, tetapi juga alat untuk mengatur kehidupan sosial. Banyak negara Eropa seperti Inggris dan Belanda mengadopsi model dari Romawi untuk sistem mereka sendiri.
Pajak Feodal Membentuk Hubungan antara Raja dan Rakyat
Selama Abad Pertengahan, sistem pajak berkembang dalam bentuk feodal. Para raja dan bangsawan menerapkan berbagai jenis pungutan untuk membiayai kegiatan politik dan militer. Salah satu jenisnya adalah Aid, yaitu pajak yang dibayarkan pada momen-momen tertentu seperti penobatan anak laki-laki menjadi ksatria atau pernikahan anak perempuan raja. Di Inggris, sistem ini masuk dalam Magna Carta dan menjadi cikal bakal pembatasan kekuasaan raja. Pajak tanah seperti Danegeld dikenakan untuk membiayai pertahanan terhadap invasi. Scutage menjadi alternatif bagi bangsawan yang tidak ingin ikut berperang, yakni membayar uang sebagai ganti jasa militer. Tallage dan Carucate juga dikenal sebagai bentuk kontribusi terhadap pemilik tanah. Tax farming, sebuah sistem di mana kelompok masyarakat diberi hak memungut pajak, sering kali disalahgunakan dan menyengsarakan rakyat. Sistem ini banyak ditemukan di Mesir, Yunani, dan Romawi. Dengan struktur seperti ini, pajak tidak hanya menjadi alat keuangan tetapi juga penanda hierarki dan kendali kekuasaan dalam masyarakat feodal.
“Simak juga: Hamili Wanita Misterius Selain Erika Carlina? DJ Panda Pilih Diam Seribu Bahasa”
Inggris dan Amerika Memunculkan Pajak Modern dan Pemberontakan
Di Inggris, kewajiban finansial warga kepada negara sudah diterapkan sejak era pendudukan Romawi. Legenda Lady Godiva yang menentang beban pungutan tinggi menjadi simbol perlawanan terhadap tekanan ekonomi rakyat. Pada Abad Pertengahan, Inggris menerapkan sistem kontribusi progresif yang cukup ketat, termasuk iuran suara dan pemotongan atas kekayaan pejabat gereja. Ketimpangan dalam sistem ini sering kali memicu kerusuhan seperti di Smithfields, saat rakyat miskin tak mampu membeli kebutuhan pokok akibat beban yang berat.
Kewajiban ini juga menjadi salah satu pemicu Perang Seratus Tahun antara Inggris dan Prancis. Di Amerika, sistem serupa yang dipengaruhi oleh Inggris memunculkan perlawanan rakyat. Penolakan terhadap Stamp Act dan Sugar Act menjadi awal dari Revolusi Amerika. Warga menganggap pungutan ini sebagai bentuk ketidakadilan, terutama ketika diterapkan tanpa perwakilan. Pemberontakan whiskey dan Fries mencerminkan penolakan terhadap tekanan yang dianggap menindas. Serangkaian peristiwa ini mendorong lahirnya sistem kontribusi publik yang lebih adil dan transparan, menjadi penopang pembangunan nasional tanpa mengabaikan hak dan suara rakyat.
Pajak Penghasilan dan Era Baru Fiskal di Amerika Serikat
Amerika Serikat menjadi salah satu negara pertama yang merancang sistem pajak penghasilan berbasis tarif progresif. Kewajiban ini pertama kali diusulkan saat Perang Sipil sebagai upaya mendanai kebutuhan perang. Tax Act 1861 dan 1862 memperkenalkan tarif pajak berdasarkan jumlah penghasilan tahunan. Pajak dikenakan atas pendapatan dari berbagai sumber seperti properti, profesi, dan perdagangan. Penghasilan di atas 600 dolar dikenakan tarif tiga persen, sementara pendapatan tinggi dikenakan lima persen. Meskipun disambut secara positif, tingkat kepatuhan masih rendah. Namun pajak ini tetap menjadi cikal bakal sistem fiskal modern. Tax Act 1864 memperkuat aturan sebelumnya dengan menaikkan tarif dan memperjelas ketentuan pengurangan. Setelah Perang Sipil berakhir, penerimaan negara menurun dan pajak penghasilan sempat dihapus. Namun, pada tahun 1913, Amandemen ke-16 mengesahkan hak pemerintah federal untuk memungut pajak atas penghasilan individu tanpa perlu disesuaikan dengan jumlah penduduk. Sejak saat itu, pajak penghasilan menjadi tulang punggung anggaran nasional di Amerika Serikat.

